Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang pada mulanya
dideklarasikan oleh David Napitulu pada 23 Juli 1973, terdiri atas orang orang
muda yang dibina cukup lama oleh penguasa orde baru.
Disamping itu Deklarasi Pemuda Indonesia, 23 Juli 1973,
merupakan landasan kelahirannya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), muncul
dari sebuah kesadaran akan tanggung jawab pemuda Indonesia dalam mengerahkan
segenap upaya dan kemampuan untuk menumbuhkan, meningkatkan, dan mengembangkan
kesadaran sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Deklarasi Pemuda bertujuan menindaklanjuti isi pesan suci
Sumpah Pemuda yang telah menggariskan kebutuhan keberhimpunan, dengan
menyatukan satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa, dan ikut mengisi
kemerdekaan.
KNPI sendiri terdiri dari Gabungan dari kelompok Cipayung,
orang-orang binaan kader Golkar, dan Tentara betulan adalah yang membentuk
organisasi yang kemudian bernama KNPI. Walhasil KNPI di awal berdirinya adalah
organisasi yang mendapat “karpet merah” dari penguasa Orde Baru, Jenderal
Suharto.
Buktinya akhir tahun 1973 delegasi KNPI adalah satu-satunya
delegasi yang sangat dinikmati kehadirannya oleh Deputi Bappenas JB Sumarlin
dalam serangkaian unjuk rasa mahasiswa yang marak pada saat itu menentang
masuknya modal asing.
Saat itu kubu KNPI atau bisa dibilang kubu Ali Moertopo
membawa konsep-konsep yang digodok oleh CSIS di Tanah Abang berhadapan dengan
konsep Menteri Perekonomian/Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro yang umum
dikatakan sebagai “mafia Berkeley”.
Pertarungan klasik yang kemudian melahirkan strategi
pembangunan Suharto yang berasal dari kompromi konsep percepatan pembangunan 5
tahun ala Widjojo digabung dengan repelita 25 tahun Ali Moertopo-CSIS.
Sejarah kemudian mencatat rangkaian aksi unjuk rasa mahasiwa
saat itu berujung pada peristiwa Malari di awal tahun 1974. Ternyata tidak satu
pun dari deklarator KNPI menjadi bagian dari mahasiswa yang ditangkap seusai
peristiwa naas tersebut.
Tercatat hanya mahasiswa dari GDUI, seperti Hariman Siregar,
Fahmi Idris, dan Sjahrir dan orang-orang “PSI” seperti Sarbini, Soebadio,
Dorodjatun Kuntjoro Jakti, dan Rahman Tolleng yang harus mendekam di Salemba.
Suasana aktivis dan pergerakan mahasiswa pada saat itu sesungguhnya
tidak ada yang tidak dekat dengan orang dekat Soeharto ataupun penguasa Golkar.
Dalam biografinya Hariman Siregar bercerita mengapa dia
sukses menjadi Ketua Dema UI menggusur dominasi HMI. Naiknya Hariman pada saat
itu didukung penuh oleh tim 10 yang didalamnya terdapat nama Aulia Rahman,
Posdam Hutasoit, Freddy Latumahina, dan LeoTomasoa.
Nama-nama tersebut adalah nama-nama yang dikenal sebagai
orang ‘binaan” Ali Moertopo, bagian dari Sespri Presiden yang mempunyai
dukungan jaringan dan dana yang nyaris tak terbatas.
Hariman bercerita di dalam bukunya bahwa dia memang sengaja
bermain-main di antara dua gajah yang bertarung. Jika dia berada di kalangan
Sespri, dia akan bilang dia dekat dengan Pangkopkamtib Soemitro, jika sedang
berada dekat dengan Pangkopkamtib dia akan bilang merupakan asuhan dari Ali
Moertopo.
Tetapi Hariman cenderung melihat sebelah mata pada para
deklarator KNPI karena praktis deklarator KNPI tidak ada yang diciduk setelah
peristiwa Malari, padahal mereka juga kawan-kawan dia.
Selepas dari penjara para korban peristiwa Malari banyak
yang kemudian menjadi kader Golkar. Entah itu dengan todongan senjata atau
gemerincing dolar minyak, yang pasti pilihan menjadi bagian dari keluarga besar
Golkar adalah pilihan yang paling rasional berbanding dengan nasib buruk
berhadapan dengan kekuatan Soeharto yang sedang berjaya.
Salah satu penghuni penjara Malari yang kemudian menjadi
ketua KNPI adalah Fahmi Idris. Sedangkan Hariman lebih memilih menjadi orang di
belakang layar dan Sjahrir kemudian menjadi Doktor Ekonomi lulusan Harvard,
Massachusetts.
Sejarah membuktikan bahwa strategi konflik yang terukur dari
rivalitas, Ali Moertopo vs Soemitro, CSIS vs MafiaBerkeley, adalah strategi
intelijen yang jitu untuk memantapkan stabilitas kekuasaan Soeharto.
KNPI dalam kiprahnya kemudian menjadi perangkat paling
efektif untuk mengukur dinamika kelompok pemuda yang sejak lahirnya Orde Baru
melupakan kelompok yang paling potensial mengganggu kekuasaan rejim.
Komite ini pula berdiri setelah melewati berbagai momentum
penting seperti, Deklarasi Pemuda Indonesia (1973), Permufakatan Pemuda
Indonesia (1987), Tekad Pemuda Indonesia (1999), Paradigma Baru KNPI (2002),
Dualisme KNPI (2008).(Ik/petapolitic.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar